cursor:url(http://www.cursorpedia.com/cur/alt/MickeyMouse_alt.cur) Ninin dyacha: William James Sidis

Minggu, 26 Februari 2012

William James Sidis








Da Vinci, John Stuart Mills atau Albert Einstein memang dianggap jenius-jenius besar yang telah memberikan banyak pengaruh terhadap bidangnya masing-masing. Tapi gelar manusia paling jenius yang pernah hidup di bumi ini sepertinya lebih pantas dinobatkan kepada William James Sidis.
Siapakah dia? Kok orang jenius seperti ini gak terkenal? Nnama William J. Sidis memang tidak terkenal, akan tetapi taukah anda bahwa IQ-nya mencapai kisaran 250 – 300? Saking jeniusnya, dia sudah bisa makan sendiri dengan menggunakan sendok pada usia 8 bulan . Pada usia belum genap 2 tahun, Sidis sudah menjadikan New York Times sebagai teman sarapan paginya.
Semenjak saat itu nama Sidis (Bocah 2 thn) menjadi langganan headline surat kabar : Menulis beberapa buku sebelum berusia 8 tahun, diantaranya tentang anatomy dan astronomy. Pada usia 11 tahun Sidis diterima di Universitas Harvard, sebagai murid termuda. Harvard pun kemudian terpesona dengan kejeniusannya ketika Sidis memberikan ceramah tentang Jasad Empat Dimensi di depan para professor matematika.
Lebih parahnya lagi, Sidis mengerti 200 jenis bahasa di dunia dan dia bisa menerjamahkan dengan amat cepat dan mudah. Ia bisa mempelajari sebuah bahasa secara keseluruhan hanya dalam sehari !!!! Keberhasilan William Sidis adalah keberhasilan sang Ayah, Boris Sidis yang seorang Psikolog handal berdarah Yahudi. Boris sendiri juga termasuk seorang yang disegani dan memang ia pun adalah lulusan Harvard, murid psikolog ternama William James (Demikian ia kemudian memberi nama pada anaknya).
Boris menjadikan anaknya sebagai contoh untuk sebuah model pendidikan baru sekaligus menyerang sistem pendidikan konvensional yang dituduhnya telah menjadi biang keladi kejahatan, kriminalitas dan penyakit. Siapa yang menyangka bahwa manusia sejenius William J. Sidis kemudian meninggal pada usia yang tergolong muda, 46 tahun – sebuah saat dimana semestinya seorang ilmuwan berada dalam masa produktifnya. Sidis meninggal dalam keadaan menganggur, terasing dan amat miskin.
Ironisnya, Orang kemudian menilai bahwa kehidupan Sidis tidaklah bahagia. Popularitas dan kehebatannya pada bidang matematika malah membuatnya sangat tersiksa. Beberapa tahun sebelum ia meninggal, Sidis sempat mengatakan kepada pers bahwa ia membenci matematika – sesuatu yang selama ini telah melambungkan namanya. Dalam kehidupan sosialnya, Sidis hanya sedikit memiliki teman. Bahkan ia juga sering diasingkan oleh rekan sekampus yang mungkin iri terhadap kejeniusannya.
Sidis juga tidak pernah memiliki seorang pacar ataupun istri. Gelar sarjananya tidak pernah selesai, ditinggal begitu saja. Ia kemudian memutuskan hubungan dengan keluarganya, mengembara dalam kesendirian, bekerja dengan gaji seadanya, dan mengasingkan dirinya. Ia berlari jauh dari kejayaan masa kecilnya yang sebenarnya adalah proyeksi sang ayah. Ia menyadarinya bahwa hidupnya adalah hasil pemolaan orang lain. Namun, kesadaran memang sering datang terlambat.
Memang sangat menyedihkan, karena ada keinginan kuat untuk lari dari pengaruh sang Ayah, untuk menjadi diri sendiri. Tapi apa kuasa Sidis? Pers dan publik terlanjur menjadikan Sidis sebagai sebuah berita. Kemanapun Sidis berada, di situ pasti ada pers yang menunggunya. Pengaruh sang ayah sangat-sangat kuat membuat namanya terus melekat dalam diri Sidis. Sudah terlanjur tertanam sebagai sebuah bom waktu, yang kemudian meledakkan dirinya sendiri. Mungkin namanya akan di kenang dalam sejarah sebagai manusia terjenius di dunia dan manusia yang paling menyedihkan di dunia.  
(sumber: eriricaldo.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar